RUU Keamanan Siber dibahas intensif di parlemen dan dinilai memiliki potensi untuk meluasnya dominasi militer atas ranah digital serta menjadi ancaman nyata bagi demokrasi. Saat pemerintah mendorong pengesahan regulasi ini, sejumlah pihak mengingatkan bahwa fokus utama RUU ini—meski dinyatakan untuk melindungi keamanan siber nasional—justru bisa menjadi pintu masuk bagi ekspansi kekuatan militer di dunia maya dan mengikis ruang partisipasi publik.
Kekuatan Militer Digital: Implikasi RUU Keamanan Siber
Salah satu aspek yang paling mencolok dari RUU Keamanan Siber adalah kemampuannya memberi ruang lebih besar bagi institusi militer untuk memasuki ranah siber. Dengan perangkat pengawasan dan intervensi digital yang termuat dalam regulasi ini, militer dapat memperoleh wewenang lebih besar dalam memonitor aktivitas daring—yang sebelumnya sejauh ini dikontrol oleh lembaga sipil.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa militerisasi digital akan menjadi normal baru. Apabila kekuatan digital yang mestinya digunakan untuk pertahanan saja disalurkan dengan cakupan yang sangat luas, maka aktivitas sipil dan demokrasi berbasis daring akan berada dalam posisi yang lebih rentan.
RUU Keamanan Siber dan Potensi Pelanggaran Hak Sipil
Dalam rancangan regulasi tersebut diatur bahwa akses terhadap data dan sistem siber bisa diberikan kepada pihak keamanan dalam kondisi yang cukup longgar. Ketentuan ini bisa memperluas ruang intervensi terhadap privasi warga negara, dan jika tidak dilengkapi dengan pengawasan yang ketat, dapat berdampak pada pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul di dunia digital.
Secara nyata, ketika RUU Keamanan Siber diterapkan tanpa mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang memadai, maka potensi penyalahgunaan wewenang semakin terbuka — di mana aktivitas politik, kritik terhadap kekuasaan, atau gerakan sosial daring bisa diawasi atau bahkan dibungkam.
Mengancam Demokrasi Digital: Transparansi dan Akuntabilitas di Ujung Tanduk
Demokrasi di era digital sangat bergantung pada ruang bebas untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Dengan hadirnya RUU Keamanan Siber yang memberi ruang besar bagi intervensi aparat militer, maka ruang demokrasi itu sendiri menjadi rentan. Ruang daring yang dulu menjadi ajang diskusi publik bisa berubah menjadi zona yang sangat dikendalikan.
Poin pentingnya: regulasi ini harus memastikan bahwa kontrol digital tidak menggantikan peran lembaga demokrasi dan bahwa warga negara masih memiliki akses untuk mengawasi dan mengkritik kebijakan publik tanpa takut diintimidasi. Namun, apabila RUU diterapkan tanpa pembatasan yang jelas, maka demokrasi digital bisa tergeser oleh logika keamanan nasional.
Lima Dampak Utama dari RUU Keamanan Siber
Untuk menggambarkan skala risiko dan peluang dari regulasi ini, berikut lima dampak utama yang perlu dicermati:
-
Penguatan wewenang militer dalam ranah siber — RUU Keamanan Siber memungkinkan militer memiliki akses pengawasan dan aksi pertahanan digital yang lebih luas.
-
Penyempitan ruang privasi dan kebebasan sipil — Data pribadi dan aktivitas daring warga bisa lebih mudah tersentuh jika mekanisme kontrol tidak cukup kuat.
-
Kontrol terhadap arus informasi publik — Regulasi dapat dimanfaatkan untuk mengatur atau membatasi aliran informasi di internet yang bisa berpengaruh terhadap opini publik dan politik.
-
Keseimbangan kekuasaan sipil dan militer yang bergeser — Dengan dominasi digital militer, lembaga sipil dan demokrasi bisa kehilangan posisi tawar.
-
Tantangan bagi demokrasi digital inklusif — Bila mahasiswa, aktivis, masyarakat sipil ataupun warga biasa merasa aktivitas daringnya dipantau atau dibatasi, maka partisipasi publik akan menurun dan kualitas demokrasi melemah.
Strategi Pengamanan agar RUU Keamanan Siber Tidak Menjadi Alat Otoritarian
Agar regulasi ini tidak berubah menjadi instrumen dominasi, maka beberapa strategi penting perlu diterapkan:
-
Penerapan mekanisme transparansi: Setiap penggunaan wewenang digital oleh aparat keamanan harus dilaporkan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
-
Keterlibatan publik dalam pengawasan: Lembaga sipil dan masyarakat harus diberi ruang untuk mengontrol implementasi RUU Keamanan Siber.
-
Pembatasan yang jelas terhadap penggunaan militer dalam ranah sipil: Definisi tugas dan batasan militer dalam siber harus diatur agar tidak menembus fungsi sipil.
-
Penetapan standar hak asasi manusia dalam regulasi: RUU Keamanan Siber harus selaras dengan kewajiban negara memperlindungi hak kebebasan berekspresi dan privasi.
-
Pendidikan dan literasi digital masyarakat: Warga perlu memahami hak-nya dan mekanisme pengaduan bila terjadi penyalahgunaan.
Dampak Global: Bagaimana RUU Keamanan Siber Bisa Mempengaruhi Hubungan Internasional
RUU Keamanan Siber tidak hanya berdampak dalam negeri, tetapi juga memiliki implikasi di kancah internasional. Negara yang menerapkan regulasi seperti ini bisa dipandang sebagai bagian dari tren global “keamanan siber nasional” — namun juga berisiko dikritik oleh komunitas internasional sebagai upaya pembatasan ruang siber dan demokrasi.
Di sisi lain, dengan kekuatan militer digital yang lebih besar, negara juga meningkatkan posisi tawarnya dalam geopolitik siber, teknologi, dan intelijen. Ini bisa memicu reaksi atau kerjasama dari negara lain yang memantau bagaimana regulasi tersebut berdampak terhadap kebebasan internet dan hak asasi manusia.
Baca juga : Keamanan Siber Era Prabowo-Gibran Jadi Prioritas Nasional
Kesimpulan: Menyeimbangkan Keamanan dan Demokrasi dalam RUU Keamanan Siber
Pada akhirnya, RUU Keamanan Siber membawa dua sisi mata uang — potensi besar untuk memperkuat keamanan nasional di ranah digital, dan risiko serius terhadap demokrasi dan kebebasan sipil jika tidak diimbangi dengan pengamanan yang tepat. Jika regulasi itu hanya fokus pada dominasi militer dan kontrol, maka demokrasi digital akan terserang.
Sebaliknya, jika penerapannya disertai dengan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, maka RUU Keamanan Siber dapat menjadi fondasi kuat bagi keamanan siber yang inklusif dan menjaga keseimbangan antara kekuatan militer dan hak warga negara. Demokrasi dan keamanan bukanlah dua hal yang saling menghapus — melainkan dua hal yang harus saling mendukung di era siber ini.